Selasa, 27 Januari 2009

PROGRAM KOMPENSASI

KOMPENSASI
Program kompensasi atau balas jasa umumnya bertujuan untuk kepentingan perusahaan, karyawan dan pemerintah/masyarakat, bertujuan untuk tercapai dan memberikan kepuasan bagi semua pihak hendaknya program kompensasi ditetapkan berdasarkan prinsip adil dan wajar, undang-undang perburuhan, serta memperhatikan internal dan eksternal konsistensi.

Program kompensasi harus dapat menjawab pertanyaan apa yang mendorong seseorang bekerja, dan mengapa ada orang yang bekerja keras, sedangkan orang lain bekerjanya sedang-sedang saja.


Peterson dan plowman mengatakan bahwa orang mau bekerja karna hal-hal berikut :


  1. The desire to live, artinya keinginan untuk hidup adalah keinginan yang utama dari setiap orang. manusia bekerja untuk dapat makan dan makan untuk dapat melanjutkan hidupnya.

  2. The desire for posession, artinya keinginan untuk memiliki sesuatu adalah keinginan setiap manusia, ini salah satu sebab mengapa manusia ingin bekerja.

  3. The desire for power, artinya keinginan kekuasaan adalah keinginan selangkah diatas keinginan memiliki, mendorong orang mau bekerja.

  4. The desire for recognation, artinya keinginan akan pengakuan adalah jenis terakhir dari kebutuhan yang mendorong orang untuk bekerja.

saya yakin tipe anda ada diantaranya ????


Sabtu, 24 Januari 2009

Diskriminasi

Talent சடம்
Perbincangan mengenai pengembangan mutu SDM kini tengah disemarakkan dengan gagasan mengenai talent management. Esensi dasar dari gagasan ini adalah bagiamana sebuah organisasi mesti mampu secara konstan merekrut, mengembangkan, dan kemudian mempertahankan barisan SDM yang bertalenta tinggi serta berkinerja unggul.
Barisan SDM dengan talenta unggul yang menduduki strategic positions pada akhirnya memang merupakan life blood dari sebuah organisasi. Disini kita mungkin perlu menyimak sebuah ungkapan dari paman Bill Gates. Begini ia pernah berujar : silakan ambil 25 SDM kunci dengan talenta unggul dari perusahaan kami, dan dalam waktu tak berapa lama Microsoft akan langsung roboh.

Pola Pikir untuk Merajut Masa Depan

meaningful Live
jam terus berderak dan berdentang. Dan dalam laju perjalanan sejarah itu, kita semua diminta untuk bisa terus tumbuh dan berkembang. Tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang matang nan unggul. Berkembang menjadi manusia - manusia yang mulia nan bermartabat. Sebab pada akhirnya : bukankah kita semua diciptakan untuk “menjadi khalifah-khalifah terbaik di muka bumi”?
Pertanyaannya sekarang adalah : jikalau memang kita mesti menjadi manusia-manusia unggul nan mulia, lalu pola pikir terbaik apa yang mesti dicengkram untuk merajut masa depan yang indah nan tercerahkan? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya ingin mengajak Anda semua melakukan ziarah pada lima elemen pola pikir (minds) yang diyakini merupakan modal penting untuk membangun keunggulan.
Lima pola pikir ini sendiri sejatinya digagas oleh Howard Gardner melalui salah satu bukunya yang memikat bertajuk Five Minds for the Future. Gardner sendiri merupakan pakar psikologi yang dikenal luas karena dia-lah orang yang pertama kali memperkenalkan teori kecerdasan majemuk (multiple intelligences). Melalui serangkaian riset yang ekstensif, Gardner menyimpulkan adanya lima jenis pola pikir yang akan memiliki peran makin penting dalam perjalanan sejarah masa depan.
Pola pikir yang pertama adalah disciplined mind (pikiran terdisiplin) atau suatu perilaku kognisi yang mencirikan disiplin ilmu, ketrampilan, atau profesi tertentu. Seorang praktisi yang menekuni dunia bisnis dan manajemen misalnya, setidaknya mesti menguasai ilmu dan ketrampilan yang solid dalam bidang tersebut. Demikian pula, semua profesional lainnya – entah arsitek, ahli komputer, perancang grafis – harus menguasai jenis-jenis pengetahuan dan ketrampilan kunci yang membuat mereka layak menjadi bagian dari profesi mereka masing-masing. Esensi dari pola pikir yang pertama ini adalah : untuk benar-benar menjadi manusia yang profesional, kita mestinya menguasai secara tuntas, komprehensif, mendalam dan terdisiplin satu bidang pengetahuan/ketrampilan tertentu.
Pola pikir yang kedua adalah : synthesizing mind (pikiran mensintesa). Atau juga pola untuk mencerap informasi dari beragam sumber, memahami, mensintesakannya, dan lalu meraciknya menjadi satu pengetahuan baru yang powerful. Kecakapan dalam melakukan sintesa ini tampaknya menjadi kian penting terutama ketika banjir informasi kian deras mengalir melalui beragam media : televisi, media cetak, dan dunia online. Dan sialnya, bongkahan informasi yang deras mengalir itu acap dipenuhi dengan informasi sampah (junk information). Tanpa kecapakan memilah dan mensintesakan beragam informasi itu, percayalah, kita bisa tergelincir dan tenggelam dalam lautan informasi. Information overload, demikian Alvin Toffler pernah menyebutnya beberapa tahun silam (lewat bukunya yang legendaris itu, The Third Wave).
Pola pikir yang ketiga adalah creating mind (pikiran mencipta). Pikiran ini menggedor kita untuk senantiasa merekahkan ide-ide baru, membentangkan pertanyaan-pertanyaan tak terduga, menghamparkan cara-cara berpikir baru, dan sekaligus memunculkan unexpected answers. Pola pikir inilah yang akan membawa kita masuk dalam wilayah-wilayah baru yang menjanjikan harapan dan peluang untuk direngkuh dan dimanfaatkan. Pola pikir inilah yang akan membuat kita mampu berpikir secara lateral (out of the box) dan bukan sekedar berpikir linear mengikuti jalur konvensional yang acap hanya akan membuat kita stagnan. Dan pola pikir inilah yang akan menemani kita untuk bergerak maju, progresif, demi terciptanya sejarah hidup yang positif dan bermakna (meaningful life).
Pola pikir berikutnya adalah respectful mind (pikiran merespek). Atau sebuah pola pikir untuk menyambut perbedaan pandangan dengan sukacita, dan bukan dengan sikap saling curiga. Sebuah pola pikir yang akan membuat kita terhindar dari anarki akibat pemaksaan kepentingan. Sebuah pola pikir yang senantiasa mengajak kita untuk merayakan keragaman pandangan dan sekaligus menghadirkan empati nan teduh bagi pendapat/pikiran orang lain – meski pendapat itu mungkin berbeda dengan yang kita hadirkan.
Dan pola pikir yang terakhir atau kelima yang juga amat dibutuhkan adalah ethical mind (pikiran etis). Inilah pola pikir yang terus membujuk kita untuk berikhtiar membangun kemuliaan dan keluhuran dalam kehidupan personal dan profesional kita. Sebab pada akhirnya, bagaimana mungkin kita akan menjadi “umat terbaik di muka bumi” jika keluhuran nilai-nilai etika kita penuh dengan debu, robek dan usang?
Demikianlah, lima pola pikir yang barangkali mesti selalu kita injeksikan dalam segenap ranah kognisi kita. Sebab dengan itulah, kita lalu bisa menyimpan sepenggal asa untuk membentangkan masa depan yang indah nan tercerahkan.

Great Presentation Skills

'एलेमेन्ट KUNCI
Ketrampilan melakukan presentasi di depan audiens kini mungkin merupakan suatu hal yang wajib dikuasai oleh setiap insan, terutama bagi mereka yang berkecimpung dalam dunia retail,Dalam tulisan ini kita ingin lebih mengeksplorasi tentang ketrampilan membawakan presentasi yang menawan (delivering a great presentation process).
Pertanyaan kunci yang akan dibahas disini adalah : elemen-elemen kunci apa yang mesti dilakoni untuk bisa memberikan sebuah presentasi yang memikat dan mampu meninggalkan jejak impresi yang menancap? Tentu ada beragam faktor yang layak disebut. Disini kita akan mencoba menelisik empat elemen kunci diantaranya.
Elemen yang pertama bersifat amat mendasar : intonasi suara yang pas. Berapa kali Anda terlelap tidur lantaran mendengarkan sebuah presentasi yang dibawakan dengan suara yang datar, monoton, dan tanpa gairah? Disana sini kita juga acap mendengarkan seorang presenter tampil dengan suara yang menggumam, tanpa intonasi yang jelas ataupun dengan ritme yang terputus-putus (kita lalu jadi seperti mendengarkan sebuah radio usang dengan baterei yang sudah mau habis….).
Pesannya jelas : untuk menjadi presenter yang solid, pertama-tama kita mesti bisa membawakan bahan yang dipresentasikan dengan suara yang jelas, artikulatif, dan dengan intonasi yang dinamis serta irama yang pas. Suara yang jelas dan artikulatif bukan saja enak didengar, namun itu dengan segera juga memproyeksikan sebuah rasa percaya diri yang solid. Sementara dengan intonasi yang dinamis – tidak monoton – kita akan mampu memberikan “nyawa” pada butiran materi yang kita sampaikan. Dan penyampaian dengan irama yang pas — tidak terlalu cepat dan juga tak terlalu lambat — akan membuat materi presentasi kita bisa mengalir, menelusup dalam segenap jejak pendengaran para partisipan.
Elemen yang kedua adalah body language. Tidakkah kita akan terkapar dalam kejenuhan yang amat memilukan, tatkalah kita mendengar dan melihat seorang presenter berdiri kaku pada satu titik bak sebuah patung, serta dengan tatapan mata yang “sayu dan tidak inspiratif”. Tidak, presenter yang jenius tidak akan seperti itu. Ia akan melibatkan gerakan tubuhnya secara optimal. Ia akan menatap semua titik audiensnya dengan tatapan yang proporsional dan memancarkan rasa percaya diri yang kokoh. Ia akan menggerakkan tangannya jika diperlukan untuk memberikan penekanan pada bagian tertentu presentasinya. Ia akan bergerak ke segenap sudut secara pas dan energik untuk memastikan semua partisipan merasa terlibat dalam proses presentasi yang disampaikan. Pendeknya, bagi seorang presenter yang brilian, arena panggung adalah tempat dimana ia akan “menari dan berdansa dengan tatapan mata bak seorang penari Bali” untuk memastikan bahwa aura keterlibatan aktif semua audiens-nya bisa terbangun dengan sempurna.
Elemen yang ketiga dan amat penting adalah ini : sampaikan bahan presentasi dengan runtut atau sistematis, dan kemudian secara maksimal, selipkan beragam ilustrasi atau kisah atau anekdot untuk membangun antusiasme partisipan. Penyampaian yang runtut dan sistematis akan membuat segenap partisipan mudah mencerna apa yang kita sampaikan. But that’s not enough. Untuk membuat peserta tidak hanya paham namun juga bergairah mendengarkan presentasi Anda, maka bentangkan semaksimal mungkin rangkaian ilustrasi yang kaya dan beragam narasi yang memikat.
Riset membuktikan, sebuah konsep akan jauh lebih mudah menancap dalam memori pendengar jika ia dibasahi dengan beragam ilustrasi yang konkrit atau dongeng/kisah/narasi yang inspiratif (itulah kenapa anak-anak tetap akan ingat dongeng yang diceritakan tiap malam oleh ayahnya meski puluhan tahun telah lewat). Sebuah dongeng/kisah yang ilustratif – apalagi jika diselingi dengan anekdot yang segar nan cerdas — juga akan jauh lebih mudah membangkitkan antusiasme pendengar dibanding celotehan konsep yang garing dan membosankan. So, remember this : setiap kali Anda akan presentasi, selalu sediakan ruang untuk menghamparkan kisah/narasi yang ilustratif, powerful dan inspiratif.
Elemen yang terakhir yang diperlukan untuk memberikan presentasi yang memikat adalah ini : ketrampilan untuk membangun interaksi yang partisipatif dengan audiens. Berapa kali pikiran kita melayang entah kemana saat mendengarkan seorang presenter yang “terlalu asyik dengan dunianya sendiri”, terus nyerocos tanpa peduli dengan minat audiens, dan terus membangun sebuah monolog satu arah yang tidak merangsang sebuah interaksi yang dialogis?
Karena itulah, selalu berikan jeda untuk mendorong para peserta agar mau berbagi pemikiran ataupun gagasan. Bangunlah keluwesan untuk mampu membangun interaksi yang dialogis dengan segenap audiens. Tak jarang dalam proses dialog yang interaktif ini justru muncul aneka narasi yang inspiratif nan jenaka, dan mampu menciptakan kesegaran yang menyenangkan bagi segenap audiens. Sebuah sesi presentasi lalu dapat menjelma menjadi sebuah teater pembelajaran yang “hidup” dan penuh keriangan (sebab pada akhirnya, learning should be fun, right?).
Demikianlah empat elemen kunci yang mesti kita lakukan agar mampu memberikan sesi presentasi yang akan terus dikenang. Sebuah sesi presentasi yang produktif, penuh gairah dan membawa secercah kerenyahan. Dan bukannya sesi presentasi yang layu, garing, yang dengan cepat akan dilupakan oleh audiens….


Presentasi yang Menarik

Presentasi
“…menggunakan PowerPoint itu seperti menaruh AK-47 yang terkokang di atas meja: kita bisa melakukan hal-hal yang sangat buruk dengan aplikasi ini.” Peter Norvig, Direktur Riset Google.
Membuat slide presentasi dengan powerpoint kini mungkin telah menjadi satu keterampilan yang perlu dikuasai oleh banyak orang – entah Anda seorang mahasiswa, dosen, trainer, pekerja kantoran, atau seorang wirausahawa Problemnya, hingga hari ini saya masih acap menyaksikan mutu slide presentasi yang pas-pasan, untuk tidak mengatakan berantakan. Beberapa waktu lalu misalnya, saya menyaksikan tayangan presentasi dari seorang petinggi dari sebuah organisasi publik; dan sesaat setelah melihat halaman pertama slide, nafsu saya mendengarkan ceramahnya mendadak lenyap. Penyebabnya: mutu slide presentasi yang ditayangkan benar-benar memilukan.
Tragedi slide presentasi semacam itu mestinya bisa dihindari jika kita tidak melakukan 3 kesalahan fatal yang acap saya temui. Mari kita telusuri tiga kesalahan ini satu per satu.
Kesalahan pertama : memindahkan word ke powerpoint. Maksudnya, powerpoint dan word adalah dua aplikasi dengan fungsi yang amat berbeda. Sialnya, perbedaan yang amat mendasar ini acap dilupakan orang ketika membuat slide presentasi. Demikianlah, saya acap melihat kalimat-kalimat panjang dan rinci dari word langsung saja dicopy paste ke dalam powerpoint – dengan font yang kecil lagi (misal ukuran 12 atau 14). Ini namanya, powerpoint abuse atau penganiayaan slide presentasi.
Solusinya : jika Anda akan menulis persentasi dengan bullet point, mungkin ada baiknya jika kita mengingat 5 x 5 rule. Aturan yang bisa diterapkan secara fleksibel ini intinya mengajak kita untuk hanya membuat maksimal 5 bullet point dalam setiap halaman slide; dan masing-masing poin sebaiknya terdiri tak lebih dari lima kata. Slide presentasi adalah slide presentasi. Maksudnya : tayangkan hanya poin-poin pokok dari gagasan yang ingin Anda sampaikan. Tulisankan gagasan itu dengan ringkas – hindari kesalahan fatal berupa keinginan untuk menampilkan kalimat-kalimat panjang dan rinci dalam sebuah slide.
Kesalahan kedua yang juga acap saya temui : SEMUA TULISAN MEMAKAI HURUF KAPITAL. Untuk judul sebuah slide mungkin oke menggunakan huruf besar semua. Namun ketika Anda menjabarkan dalam poin-poin yang ringkas dalam baris sesudahnya, gunakan huruf non-kapital. Sebab kalimat panjang yang semua menggunakan HURUF KAPITAL terbukti justru sulit dibaca.
Selanjutnya, kalau bisa gunakan font dengan ukuran minimal 24 (ukuran yang lebih kecil akan membuat orang yang duduk dibelakang akan kesulitan membacanya). Dan jangan lupa, sebaiknya gunakan jenis huruf sans seriff seperti Arial, Verdana atau Georgia. Dan bukan jenis huruf seriff seperti Times New Roman. Sejumlah pakar presentasi menyebutkan, dalam medium digital seperti layar komputer, jenis huruf seperti Arial lebih mudah dibaca dibanding Times New Roman.
Dan jangan lupa juga satu hal : konsistensi. Maksudnya, jika kita menggunakan huruf Arial dengan font size 28, maka sebaiknya jenis dan ukuran inilah yang kita pakai dalam semua halaman slide. Ini perlu diingat, sebab tak jarang saya melihat pemakaian jenis huruf yang tidak konsisten. Kesannya jadi berantakan dan tidak profesional.
Kesalahan ketiga : desain gambar yang kampungan dan ditata dengan serampangan. Untuk membuat slide lebih artistik, kita memang kudu meletakkan gambar (image) yang relevan dan artistik. Sialnya, saya banyak melihat slide dengan gambar yang dicomot dari clip art (banyak tersedia dalam powerpoint); dan sorry to say, hal ini akan membuat slide Anda terkesan kampungan. Apalagi jika clip art itu diletakkan secara serampangan – tanpa memperhatika segi estetika.

Kalau ingin menaruh gambar, ya cari gambar (image) yang professional look, jangan pakai clip art. Dan yang tak kalah penting : semuanya ditata dengan memperhatikan aspek estetika, dan sekali lagi konsisten. Maksudnya, style peletakan gambar kalau bisa mengacu pada pola tertentu yang konsisten (dan bukan asal taruh saja). Mungkin dalam hal desain image ini ada baiknya jika kita langsung berguru dari presentasi sang pencipta PowerPoint itu sendiri (lihat beberapa contoh presentasi melalui image dibawah ini).
Seperti yang kita saksikan dalam contoh diatas, desain gambar dan tata letak kalimat tampaknya disusun dengan mengacu pada nilai estetika. Kita mungkin sulit meniru kejeniusan Tuan Gates dalam membikin software, namun tentu bukan hal yang relatif rumit untuk bisa mengcopy desain presentasi seperti yang terlihat dalam gambar diatas. Yang dibutuhkan hanyalah kepekaan kita akan nilai-nilai estetika (sense of aesthetic).
Demikianlah, tiga kesalahan fatal yang mestinya bisa kita hindari jauh-jauh ketika kita hendak membuat slide presentasi. Sebab dengan itulah kita mungkin baru bisa mendesain sebuah slide yang elok nan menggetarkan. Dan bukan deretan slide yang garing nan membosankan. Dengan mutu yang memilukan. Duh.

Perusahaan dengan Balanced Scorecard

Balance
You can not manage what you can not measure, demikian guru manajemen Peter Drucker pernah berujar. Spirit kalimat itu mengindikasikan bahwa pengelolaan kinerja manajemen atau kinerja bisnis selalu mesti dilakoni melalui proses dan hasil yang terukur. Tanpa manajemen yang berbasis pada indikator yang terukur dan objektif, sebuah gerak organisasi bisnis bisa terpeleset menjadi sejenis paguyuban yang tak produktif.
Dalam konteks pengukuran kinerja perusahaan ini, sekarang kita mengenal adanya sebuah pendekatan yang disebut sebagai balanced scorecard. Pendekatan ini sendiri dipopulerkan oleh Kaplan and Norton melalui bukunya yang fenomenal itu, Balanced Scorecard : Translating Strategy Into Action. Pengertian balanced scorecard sendiri jika diterjemahkan bisa bermakna sebagai rapot kinerja yang seimbang (balanced). Kenapa disebut seimbang karena pendekatan ini hendak mengukur kinerja organisasi secara komprehensif melalui empat dimensi utama, yakni : dimensi keuangan, pelanggan, proses bisnis internal dan dimensi learning & growth.
Dimensi keuangan merupakan hasil akhir yang ingin digapai oleh sebuah organisasi bisnis. Sebab tanpa menghasilkan profit yang sustainable dan cash flow yang sehat, sebuah perusahaan mungkin akan lebih layak disebut sebagai paguyuban sosial. Dalam dimensi ini, beberapa indikator kinerja (atau lazim disebut sebagai key performance indicators atau KPI) yang kerap digunakan sebagai acuan antara lain adalah : tingkat profitabilitas perusahaan, jumlah penjualan dalam setahun (sales revenue), tingkat efisiensi biaya operasi (operation cost dibanding sales), ataupun juga sejumlah indikator keuangan seperti ROI (return on investment), ROA (return on asset) ataupun EVA (economic value added).
Dimensi selanjutnya adalah dimensi pelanggan yang notabene merupakan tonggak penting untuk mencapai kejayaan dalam aspek keuangan. Sebab tanpa pelanggan, sebuah organisasi bisnis tak lagi punya alasan untuk meneruskan nafasnya. Demikianlah untuk menggapai kesuksesan, perusahaan juga mesti memetakan sejumlah ukuran keberhasilan dalam dimensi pelanggan. Sejumlah key performance indicator (KPI) yang lazim digunakan dalam dimensi pelanggan ini antara lain adalah : tingkat kepuasan pelanggan (customer satisfaction index), brand image index, brand loyalty index, persentase market share, ataupun market penetration level.
Dimensi berikutnya adalah dimensi proses bisnis internal. Pertanyaan kunci yang layak diajukan disini adalah : untuk meraih keberhasilan keuangan dan memuaskan pelanggan kita, proses bisnis internal apa yang harus terus menerus disempurnakan? Beberapa elemen kunci dalam proses bisnis internal yang layak dikendalikan dengan optimal mencakup segenap mata rantai (supply chain) proses produksi/operasi, manajemen mutu, dan juga proses inovasi. Beberapa contoh KPI yang lazim digunakan dalam dimensi ini antara lain adalah : persentase produk yang cacat (defect rate), tingkat kecepatan dalam proses produksi, jumlah inovasi proses dan produk yang dikembangkan dalam setahun, jumlah produk/jasa yang di-delivery dengan tepat waktu, ataupun jumlah pelanggaran SOP (standard operating procedures).
Dimensi yang terakhir adalah dimensi learning and growth. Dimensi ini sejatinya hendak berfokus pada pengembangan kapabilitas SDM, potensi kepemimpinan dan kekuatan kultur organisasi untuk terus dimekarkan ke titik yang optimal. Dengan kata lain, dimensi ini hendak meletakkan sebuah pondasi yang kokoh nan tegar agar sebuah organisasi bisnis terus bisa mengibarkan keunggulannya. Contoh KPI (key performance indicators) yang lazim digunakan untuk mengukur kinerja pada dimensi ini antara lain adalah : tingkat kepuasan karyawan (employee satisfaction index), level kompetensi rata-rata karyawan, indeks kultur organisasi (organizational culture index), ataupun jumlah jam pelatihan dan pengembangan per karyawan.
Demikianlah empat dimensi utama yang mesti dikelola dan diukur kinerjanya secara konstan dari waktu ke waktu. Pada dasarnya keempat dimensi diatas bersifat sinergis dan saling behubungan erat secara hirarkis. Sebuah organisasi bisnis hampir tidak mungkin mencapai keunggulan finansial tanpa ditopang oleh barisan pelanggan yang puas dan loyal. Dan barisan pelanggan yang loyal ini tak akan pernah terus tumbuh jika sebuah organisasi tidak memiliki proses bisnis yang ekselen nan inovatif. Dan pada akhirnya, proses kerja yang ekselen ini hanya akan mungkin menjelma menjadi kenyataan jika organisasi tersebut ditopang oleh barisan SDM yang unggul, kepemimimpinan yang tangguh dan budaya organisasi yang positif.
Pengelolaan kinerja organisasi bisnis secara optimal dengan demikian mesti mempertimbangkan keempat dimensi diatas secara intregratif. Serangkaian key performance indicators (beserta target angka) untuk tiap dimensi diatas mesti diidentifikasi dan kemudian dimonitor pencapaiannya secara periodik (misal setiap sebulan sekali dalam sesi monthly performance review meeting). Melalui proses pengelolaan kinerja yang komprehensif pada empat dimensi inilah, sebuah organisasi bisnis mestinya bisa terus tumbuh dan mekar menuju ranah kejayaan.

Mengkloning Manusia-manusia Unggul

Hidup ini mungkin akan berjalan dengan lebih semarak kalau saja kualitas keunggulan para great performers bisa dengan mudah di-replikasi ke banyak orang. Tidakkah sebuah kenyataan yang indah jika saja misalnya, kita bisa mengkloning Bill Gates menjadi 10, atau mengkloning seorang Rudy Hartono menjadi 100?
Meski tidak sama persis dengan proses kloning, dalam ilmu perilaku manusia (human behavior) sesungguhnya telah lama dikenal teknik untuk melakukan proses replikasi atau duplikasi atas keunggulan semacam itu. Para pakar human behavior menyebutnya sebagai proses modeling. Esensi modeling ini mungkin mirip-mirip dengan kloning : yakni bagaimana kita mengekstrak benih-benih keunggulan dari seorang manusia (yang dianggap hebat), untuk kemudian mencangkokkan benih itu kepada manusia lainnya.
Dari sejumlah riset mengenai perilaku manusia, teknik modeling ini merupakan salah satu pilihan metode ampuh untuk memodifikasi perilaku manusia menuju keunggulan (excellence). Lalu apa saja yang kudu dilakukan untuk melakukan proses modeling itu? Berikut lima langkah praktikal yang barangkali bisa dilakoni untuk melakukannya.
Langkah yang pertama adalah menanyakan pada diri Anda sendiri : What do you want to excel in? Dalam area atau bidang apa Anda ingin menjadi hebat? Contohnya saja Anda benar-benar ingin menjadi seorang entrepreneur yang sukses. Atau mungkin hendak menjadi leader-manager yang tangguh dan berprestasi. Kalau mengambil contoh dari saya sendiri, maka saya berhasrat menjadi penulis blog yang bagus.
Langkah kedua adalah mencari dua atau tiga orang yang sudah terbukti sukses dalam area yang Anda inginkan tersebut. Jika ingin menjadi wirausahawan, carilah tiga sosok yang menurut kita sudah benar-benar terbukti sukses. Tiga sosok ini bisa kita cari melalui lingkungan sekitar kita, kerabat, atau juga dari beragam cerita yang ada di media. Demikian juga dalam contoh leader-manager yang sukses. Kita mesti mencari tiga role model yang bisa kita teladani. Kalau kembali dengan contoh saya, maka salah satu sosok penulis yang ingin saya teladani adalah Goenawan Mohamad, penyair unggul yang juga salah satu pendiri majalah Tempo.
Langkah ketiga, adalah mengidentifikasi common practice yang telah dipraktekkan oleh ketiga role model itu. Apa saja key succes factors yang secara umum dipraktekkan oleh ketiga figur teladan itu? Teknik dan strategi apa yang menjadikan ketiganya menjadi entrepreneur sukses misalnya? Apakah model bisnisnya, apakah strategi pemasarannya, atau apakah faktor sikap mentalnya? Demikian juga dalam dalam kasus leader-manager, kita mesti mencari faktor dibalik kehebatan prestasi mereka. Kualitas dan perilaku spesifik seperti apa yang telah sama-sama dipraktekkan oleh ketiga model tersebut sehingga membuat mereka menjadi hebat?
Dalam kasus saya misalnya, saya melihat faktor kekuatan menulis Goenawan Mohamad terletak pada serangkaian kualitas berikut ini : ketajaman memilih diksi (pilihan kata), kepiawaian merangkai kalimat secara prosais nan puitis, penguasaan yang amat kaya terhadap beragam literatur dunia, dan hampir selalu mengakhiri setiap tulisannya dengan kalimat yang menggugah dan membius.
Langkah keempat dan paling penting : praktekkan semua yang telah Anda pelajari dalam langkah ketiga. Take real action adalah kata kunci disini. Secara bertahap, lakukan tindakan sesuai dengan resep jitu yang telah Anda ekstrak dari para role model Anda tersebut. Dua tulisan saya (bisa Anda baca disini dan disini) merupakan contoh spesifik dimana saya mencoba mempraktekkan resep kekuatan menulis dari sang teladan : yakni bagaimana merangkai sebuah tulisan yang indah, puitis dan sekaligus diakhiri dengan kalimat yang membius dan menggugah.
Langkah kelima atau terakhir adalah : refine dan improve. Apa yang bisa Anda pelajari dari langkah 4? Strategi dan tindakan apa yang telah dapat Anda lakukan dengan berhasil, dan apa yang belum? Dan apa yang mesti harus diperbaiki dari tindakan Anda ini? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini akan membantu Anda untuk terus melakukan continous improvement dalam proses mencapai keunggulan.

Are You A Happy Employee?

Are You A Happy
Kepuasan karyawan kita tahu, merupakan salah satu elemen penting untuk membangun kinerja perusahaan yang mencorong. Segenap program untuk membangun kepuasan pelanggan misalnya, bisa berakhir dengan tragis jika ia tidak disertai dengan program untuk memuaskan karyawan secara sistematis. Sebab, bagaimana mungkin front-line Anda bisa mengulurkan senyum penuh kerenyahan kepada para pelanggan jika ia selalu nggerundel dengan gaji yang diterimanya?
Itulah mengapa banyak perusahaan kelas dunia menaruh perhatian yang amat serius untuk mengelola kepuasan para karyawannya. Di tanah air sendiri, kini juga makin banyak perusahaan melakukan sejumlah inisiatif untuk memuaskan para best talents mereka sehingga tetap betah bertahan dan enjoy dalam bekerja.
Salah satu inisiatif itu misalnya adalah dengan melakukan survei kepuasan karyawan secara reguler (misal setiap tahun sekali). Melalui survei ini diharapkan pihak perusahaan bisa memperoleh informasi yang berharga dalam merancang program kepuasan yang tepat sasaran.
Secara garis besar, angket kepuasan karyawan sendiri biasanya meng-address lima elemen utama, yakni : 1) kepuasan karyawan terhadap pekerjaannya (job content), 2) kepuasan karyawan terhadap lingkungan kerja (baik lingkungan fisik seperti tata ruangan ataupun lingkungan non fisik seperti relasi dengan kerja, atau suasana kerja); 3) kepuasan karyawan terhadap atasan, dan 4) kepuasan karyawan terjadap kebijakan perusahaan dalam memberikan remuneration and benefit pada pegawainya.
Selain empat elemen utama diatas, biasanya ada faktor tambahan lain yang ditanyakan seperti : kepuasan karyawan terhadap kebijakan pengembangan karir, kepuasan karyawan terhadap program pelatihan yang diberikan, ataupun kepuasan karyawan terhadap kualitas kepemimpinan secara umum di perusahaan tersebut.
Pada tahapan selanjutnya, elemen-elemen yang ingin ditanyakan tersebut kemudian dijabarkan dalam serangkaian pertanyaan. Misalkan setiap elemen dijabarkan dalam bentuk 4 – 5 pertanyaan. Sebagai misal untuk untuk faktor mengenai kepuasan karyawan terhadap pekerjaannya, dua contoh pertanyaan yang lazim diberikan adalah sbb:• Saya puas dengan pekerjaan saya dan jenis tugas yang saya kerjakan.• Pekerjaan saya menantang dan menarik.
Untuk faktor kepuasan terhadap atasan, dua contoh pertanyaannya adalah sbb:• Atasan saya melakukan tindakan perbaikan yang tepat dan adil pada karyawan yang tidak dapat menampilkan prestasi kerja yang memuaskan.• Atasan saya memberikan pengarahan dan instruksi yang jelas.
Untuk faktor kepuasan terhadap paket remunerasi yang diterima, contoh pertanyaan yang dapat diberikan adalah :• Saya merasa puas dengan gaji yang saya terima.• Saya merasa puas dengan paket asuransi kesehatan yang diberikan oleh perusahaan.
Setiap pertanyaan tersebut kemudian dilengkapi dengan jawaban dalam skala 1 – 5, dimana deskripsi skalanya adalah :(1) Sangat Tidak Setuju(2) Tidak Setuju(3) Netral(4) Setuju(5) Sangat Setuju
Jawaban dari para karyawan terhadap angket dan skala jawaban itu kemudian di-olah dan di-analisa untuk mendapatkan gambaran mengenai tingkat kepuasan karyawan saat ini. Tentu jika angka rata-ratanya semakin tinggi, berarti tingkat kepuasan karyawan di perusahaan itu juga makin baik.
Pada sisi lain, dari analisa itu juga bisa diketahui dalam aspek apa, tingkat kepuasan berada pada posisi yang kurang baik (misal rata-rata skornya dibawah tiga) : apakah dalam aspek lingkungan kerja, aspek remunerasi, atau aspek kepemimpinan dalam perusahaan. Dengan demikian pihak perusahaan bisa dengan lebih akurat mengetahui aspek apa yang paling perlu mendapatkan prioritas perhatian untuk dibenahi.
Jadi omong-omong, apakah Anda puas dengan pekerjaan dan kantor Anda sekarang? Apa kira-kira yang membuat Anda sudah/belum puas?

Kecerdasan Emosional Anda

Emosional Anda
Semenjak Daniel Golemen menggagasnya dalam karya fenomenal bertajuk Emotional Intelligence, kini makin diyakini pentingnya makna kecerdasan emosional dalam merajut kanvas kehidupan yang dilimpahi oleh kesuksesan dan kebahagiaan. Kecerdasan intelektual ternyata hanya separo dari sebuah perjalanan. Ia mesti juga dilengkapi dengan kecerdasan emosional (dan juga kecerdasan spiritual) agar kita semua bisa menggapai hidup yang penuh arti kemuliaan.
Secara eksploratif, kecerdasan emosional sendiri pada dasarnya merujuk pada dua dimensi kunci yang mesti kita praktekkan dengan penuh kesempurnaan. Dimensi yang pertama adalah tentang dunia intra-personal – atau sebuah dunia sunyi untuk melihat dengan penuh kebeningan relung diri kita sendiri. Dimensi yang kedua adalah tentang dunia inter-personal – atau sebuah dunia dengan mana kita menghamparkan berderet perjumpaan dengan orang lain.

Kekurangan Entrepreneur?

Entrepreneur?

Negeri ini masih sangat kekurangan entrepreneur. Dibalik beragam liputan tentang seribu satu sosok enterpreneur, negeri ini ternyata masih sangat sedikit memiliki kaum wirausaha. Data terkini menunjukkan angka populasi entreprenuer di negeri ini hanya 0,18 % dari total penduduk, atau hanya sekitar 400,000 orang. Sebuah jumlah yang terlalu sedikit untuk sebuah negara dengan penduduk lebih dari 200 juta jiwa.
Padahal, kisah kemonceran sebuah bangsa selalu dilentikkan oleh kisah heroisme para entrepreneurnya. Mereka membangun bisnis dari nol, mendedahkan cerita legendaris, dan kemudian menancapkan jejak yang amat kokoh dalam sejarah ekonomi dunia. Amerika akan selalu dikenang karena mereka memiliki Henry Ford, Bill Gates, ataupun Lary Page & Sergei Brin (pendiri Google). Jepang menjadi legenda lantaran kisah Akio Morita (pendiri Sony), Soichiro Honda dan Konosuke Matshushita (Panasonic).